Friday, June 15, 2007

Menanti Pers sebagai Penyelamat

Oleh Heriyanto

Ada semacam asumsi bahwa perkembangan pers berpengaruh pada kehidupan demokrasi. Kalimat ini klasik, memang. Namun sangat berarti. Sebab ada banyak harapan pers menjadi semacam penyelamat atas sesuatu yang sudah buruk.

Bulan Agustus 1974 Presiden Richard Nixon mengundurkan diri setelah dua wartawan Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein membongkar kasus Watergate di mana Nixon terlibat di dalamnya. Publik Amerika geger. Presiden ke 37 AS yang malang itu lengser dari jabatannya sebagai presiden, bukan karena demonstrasi atau impeachmen parlemen, melainkan karena laporan pers. Suatu yang buruk telah terselamatkan. Saya tahu kisah ini setelah menonton film All The President's Men yang secara rinci cerita soal skandal Watergate.

Pers Indonesia pasca Orde Baru memeroleh kebebasannya: sesuatu yang berbeda dibanding masa orde baru di mana pers terkungkung ancaman sensor dan bredel. Kini pers berkembang pesat. Ratusan media tumbuh. Pers berani mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa rasa takut. Walau tentu saja belum sekaliber terbongkarnya skandal Watergate. Dulu wartawan Indonesia bisa sewaktu-waktu terancam penjara bila berita yang ditulis dianggap menentang pemerintah. Kini mereka berani membuat berita yang pada masa orde baru sangat sensitif sekalipun.

Bukankah kini memilih berita layaknya memilih makanan? Berbagai pilihan disuguhkan. Kita bebas memilih berita kuliner sampai berita soal politik atau kriminal. Kita bisa baca berita yang ditulis secara lembut sampai yang ditulis keras dan pedas. Sarapan pagi kita ditemani berita soal korupsi, ilegalloging, sampai pembunuhan.

Pers Indonesia berkembang, benarkah ini sekaligus menandakan makin berkualitasnya kehidupan demokrasi di Indonesia? Dan bila kita yakin tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, apakah peningkatan kuantitas berita membawa implikasi makin meningkatnya kesejahteraan rakyat?

Semestinya iya. Tapi bisa juga tidak. Saya hendak mengatakan, kebebasan pers ini idealnya membawa perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja misalnya perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun bicara sesuatu yang ideal akan menyerempet utopia: mimpi. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan yang diharapkan itu mungkin saja hanya sekadar mimpi.

Ada pernyataan, jurnalisme hadir bersama tujuannya. Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menyebut tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri mereka sendiri. Menurut Kovach manusia membutuhkan berita karena naluri dasar-- yang disebut sebagai naluri kesadaran. Dengan informasi itu manusia tahu dunia luar.

Orang bebas tahu siapa yang layak untuk jadi gubernurnya: siapa yang pahlawan dan siapa yang penjahat. Orang perlu tahu amankah daerah yang ia tempati dan apa saja potensi-potensi yang bisa dikembangkan. Orang perlu tahu kebijakan-kebijakan pemerintah, juga butuh informasi bencana alam atau sekadar berita tentang harga minyak goreng. Orang juga perlu dapatkan informasi soal pendidikan, lapangan pekerjaan, atau soal kecil macam tempat wisata yang menarik.

Pengetahuan itu memberi rasa aman, membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Bila rakyat mampu memberdayakan diri mereka kesejahteraan hidup bisa ditingkatkan. Merdeka dan bisa mengatur diri sendiri secara bebas itulah inti demokrasi. Dalam negara yang otoriter kemerdekaan dan kebebasan sangat sulit didapat. Pada titik inilah sesungguhnya peran media dibuktikan. Dan asumsi kita terjawab meski masih menyisakan sedikit ragu.

Ini sisi keraguan itu: meski sudah mendapatkan kebebasannya, seringkali media di Indonesia lupa bahwa mereka bertanggung jawab pada publik. Media terjebak pada korporasi yang tujuannya semata keuntungan dan melupakan untuk apa mereka hadir.

Sebagian media mungkin tidak dekat dengan rakyat kecil. Sebagian lain mungkin lebih dekat dengan penguasa dan sibuk melayani pemerintah ketimbang mereka yang diperintah (warga). Bila hal ini yang lebih dominan, maka satu kesimpulan soal utopia tadi menjadi kenyataan. Bahwa media memang tak mampu berperan dalam membangun demokrasi apalagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dan orang boleh menggugat: pers ada tetapi mengapa pada kenyataannya masih banyak rakyat yang belum terberdayakan dan masih banyak pula yang belum sejahtera; mengapa korupsi makin banyak; mengapa pula masih banyak rakyat yang termarjinalkan?

Padahal media tidak seperti perusahaan tahu, krupuk, atau rokok yang tujuan utamanya keuntungan. Media adalah sebuah institusi yang punya tanggungjawab untuk mencerdaskan publik, memberikan informasi yang bergizi, dan sekali-kali menjadi watchdog pemerintah. Mata hati pers pada nurani. Seperti memilih makanan, media semestinya memberikan pilihan-pilihan yang dibutuhkan dalam mengembangkan potensi warga: mencerdaskan sekaligus memberdayakan.

Tapi kita perlu realistis bahwa Pers Indonesia belum lama menikmati kebebasannya. Dan bisa jadi ancaman-ancaman pada kebebasan pers masih mengintai di kemudian hari. Seperti yang pernah dikatakan Sindhunata, melahirkan demokrasi sama sakitnya seperti melahirkan bayi. Mungkin sama sakitnya bagi pers dalam membangun demokrasi.

1 comment:

Harian Online KabarIndonesia (HOKI) said...

Acung jempol untuk tulisannya, rakyat kecil sekarang telah memiliki media khusus untuk orang biasa ialah www.kabarindonesia.com

Kami mengharap pak Heriyanto maupun rekan2 lainnya bersedia untuk bergabung dengan kami sebagai penulis. Untuk daftar jadi penulis klik - Daftar Jadi Penulis - di www.kabarindonesia.com