Keringat
di wajah Wendy belum sempat dibersihkan. Baju kaosnya juga tampak basah.
Segelas air minum dengan cepat dihabiskannya. Wendy tampak kecapean.
Malam itu, Wendy dan teman-temannya di Yayasan Budhi Agung baru selesai latihan. Sebentar lagi perayaan Imlek datang. Mereka harus siap-siap. Berlatih sekuat tenaga agar tarian barongsai mereka layak dipertunjukkan.
Malam itu, Wendy dan teman-temannya di Yayasan Budhi Agung baru selesai latihan. Sebentar lagi perayaan Imlek datang. Mereka harus siap-siap. Berlatih sekuat tenaga agar tarian barongsai mereka layak dipertunjukkan.
Perkumpulan
barongsai tempat Wendy latihan bernama Budhi Agung yang terletak di jalan Dewi
Sartika. Wendy bercerita, yayasan ini sudah berdiri sejak 1912, dan bertahan
hingga sekarang. Anggotanya sudah beberapa kali ganti generasi. Dia sendiri
generasi kesekian di yayasan itu. Pemain Barongsai di yayasan ini rata-rata
anak muda, jumlahnya 16 orang. ”Ada
yang masih SMP dan SMA, ada pula yang kuliah. Tamatan sarjana juga ada,” ujar
Wendy, yang masih berusia 20 tahun ini.
Wendy
sendiri sudah bermain barongsai selama 10 tahun. Seingatnya ketika pertama
berlatih, dia masih duduk di kelas 5 SD. ”Waktu itu sih hanya coba-coba saja. Tapi
sekarang malah kerasa asyiknya.” Wendy mengaku lebih suka pada barongsai
ketimbang main game seperti yang digemari kebanyakan remaja lain.
Anggota
barongsai sendiri berbagi peran. Ada yang bermain musik, ada juga yang jadi
penarinya. Untuk bisa mahir bermain barongsai minimal harus berlatih selama
setahun. Ini karena gerakan-gerakan barongsai cukup sulit. Mulai gerakan dasar
hingga yang lanjutan. ”Yang tersulit barangkali berjalan dan melompat di atas
tiang. Kalau gerakan ini tidak semua anggota bisa melakukannya. Biasanya dari
sekian orang hanya beberapa saja yang terpilih,” tambah Wendy.
Untuk
bisa menguasai berbagai gerakan barongsai dengan baik, menurut Wendy syaratnya
harus rajin berlatih dan berani. ”Kalau latihan terus, semua pasti bisa,” Wendy
memastikan.
Selain
Wendy, malam itu ada juga Junanto. Untuk memainkan barongsai sendiri butuh 2
orang, satu di kepala dan lainnya di ekor. Nah untuk yang bagian ekor inilah
Junanto kebagian tugas. Junanto bertubuh cukup kekar dan gerakannya lincah.
Bagi pemain ekor fisik seperti ini memang diperlukan. Kalau tidak tentu dia
akan sulit mengangkat penari di depannya. Selain itu tubuh pemain ekor harus
lebih besar dari pemain depan. ”Ini penting, karena seringkali ada gerakan
pemain ekor mengangkat pemain depan. Kalau badan pemain depan lebih besar dari
saya mana kuat ngangkatnya,” ceritanya terkekeh.
Diantara
sekian banyak atraksi, berjalan dan melompat di atas tiang besi adalah
tantangan yang cukup berat. Mereka harus berlatih keseimbangan dan kekompakan.
Sedikit kesalahan, mereka bisa saja terjatuh. ”Makanya antara pemain depan dan
ekor harus kompak.” Selain itu gerakannya juga harus menyesuaikan dengan irama
musiknya. Perpaduan gerak dan musik ini yang bikin tari barongsai itu indah
dilihat.
Dion
Valentino Tanuwijaya salah satu anggota yang masih berusia cukup muda mengaku
tertarik ikut barongsai, salah satunya karena keindahan barongsai ini. Meski
usianya baru 13 tahun dan masih duduk di kelas 1 SMP, Dion rajin berlatih
selama satu tahun ini. Dion sudah bisa memainkan beberapa alat musik pengiring
barongsai. Dion mengaku senang ikut latihan di sana. ”Saya ijin ke papa,
rupanya boleh. Tapi tetap harus mengatur waktu agar nggak ganggu sekolah.”
Meski
kebanyakan anggota Budi Agung adalah cowok, tapi ada juga 2 cewek yang
bergabung di sana. Salah satunya adalah Suryani. Suryani adalah sarjana lulusan
Widya Dharma. Banyak temannya yang tidak setuju dia berlatih barongsai.
”Soalnya keliatan nggak feminim, kata mereka.”
Tapi
Suryani cuek saja. ”Aku ngelihat banyak kok sisi positifnya. Ikut barongsai itu
rasanya beda banget. Saya dapat banyak pengalaman dan senang rasanya. Ini khan
tradisi leluhur. Banyak anak muda yang nggak mau mempelajarinya. Kalau ini
nggak diletastarikan, bisa hilang nantinya,” pungkas Suryani.[]
No comments:
Post a Comment