Rasanya
tidak ada yang melebihi emak dalam mengajariku hidup dan kesederhanaan.
Walaupun dengan kondisi ekonomi pas-pasan, emak mengatur ritme hidup ini dengan
sewajarnya. Dia sering terlihat kecapean ketika pulang dari sawah atau ketika
baru pulang dari pasar menjajakan hasil kebun, namun ia lalui itu dengan sabar.
Pergi pagi, pulang sore hari. Dari wajahnya aku bisa melihat bagaimana capeknya
emak.
Waktu
kecil emak biasanya akan mengajakku ke ladang. Di ladang ada sebuah gubuk yang
jadi tempat berteduh bila matahari kian panas menyengat. Aku suka bermain-main
di gubuk itu. Bila emak sedang bekerja, aku sibuk berlari ke sana kemari mengejar belalang. Aku suka
menangkap belalang yang besar untuk kemudian aku bakar untuk dimakan. Rasanya
cukup enak.
Di gubuk
tersedia makanan yang enak-enak yang emak bawa dari rumah. Biasanya ubi rebus,
tela goreng, atau tiwul. Aku suka tiwul yang diberi parutan kelapa dan ditambah
gula pasir. Seingatku makanan itu terasa enak sekali meski sangat sederhana.
Barangkali karena saat itu hanya makanan itu yang ada, apalagi ditambah perut
sudah lapar. Emak juga akan membawa berbagai makanan kudapan dalam rantang.
Biasanya berisi nasi putih, sayur serta lauk. Di siang hari, kami memakannya
bersama-sama. Meski sederhana, makanan ini sangat mengesankan. Aku selalu
mengingatnya hingga kini.
Saat
kecil itu aku ingat emakku sudah menanamkan nilai–nilai keagamaan. Emak memang
tidak bergelar pendidikan tinggi, emak juga bukan seorang cerdik pandai dalam
hal agama. Emak hanya seorang yang menjalankan agama dengan sederhana. Sangat
sederhana. Waktu umurku 6 tahun emak mulai mengenalkanku hafalan surat-surat
pendek. Aku kemudian mengaji Alquran kepada Mbahku di malam hari. Mbah juga
mengajari soal hidup yang lurus.
Waktu
kecil aku pemalu dan minder. Aku nggak berani bila jauh-jauh dari ibuku. Kemana
pun ibu pergi aku akan selalu ikut. Biasanya setiap bepergian aku akan selalu
menggamit tangan ibuku. Umur 7 tahun ibu mendaftarkanku sekolah dasar. Itu yang
paling kutakuti. Kalau sekolah aku tentu tak bisa ikut emak ke ladang.
Pertama
kali masuk sekolah seperti berada dunia yang sangat asing. Rasanya malu bertemu
dengan orang-orang yang baru dikenal itu. Proses adaptasiku cukup lama. Di
hari-hari pertama emak masih mengantarku sekolah. Namun begitu prestasiku terus
saja melejit. Aku selalu mendapatkan rangking pertama di kelas. Bahkan untuk
tingkat kecamatan aku tergolong unggul. Guru-guruku bilang, aku siswa yang
cerdas. Nilai ulangan matematika antara 9 dan 10. Jarang di bawah itu. Pernah
juga aku mengerjakan soal betul semua. Tapi ternyata kunci jawaban soal yang
salah. Aku akhirnya hanya mendapatkan nilai 9,8. Aku protes pada bu guru,
tetapi tetap tak mengubah nilaiku.
Tamat
SMP, nilaiku cukup baik. Aku sangat ingin melanjutkan ke SMA Taruna. Sekolah
ini memang menjadi idamanku, karena cukup bergengsi. Aku pun mendaftar ke
sekolah tersebut. Secara akademis aku lulus. Aku lulus beberapa tahap seleksi.
Namun pada tes kesehatan aku gagal.
Kecewa,
tentu. Akhirnya mendaftar di sekolah lain. Pamanku mengantarku ke SMA 1 Sungai
Raya. Dengan segala kekecewaan itu aku lampiaskan dengan menjadi aktivis
sekolah. Aku jadi ketua Osis, Pramuka, mendirikan Paskibra, dan Remaja Masjid.
Aku
cukup populer saat itu. Beruntung di SMA aku mendapatkan beasiswa sehingga bisa
kutabung. Meski sibuk di organisasi aku masih tetap juara umum di sekolah.
Pernah juga aku memperoleh juara 1 Olimpiade biologi tingkat kabupaten Pontianak . Aku berhasil
mengalahkan SMA Taruna.
Sambil
sekolah aku tetap mencari rumput untuk sapiku. Usaha ini sudah aku jalani sejak
SD. Ya biasa orang kampung mesti kerja keras. Dari kecil sudah diajari untuk
kerja keras dan berani untuk bertanggung jawab. Hidup mandiri membuatku mampu
bertahan dari beban berat itu.
Ketika
SMA Bapak mulai sakit-sakitan. Maklum sudah lumayan tua. Aku merasa bimbang. Jelas
aku tak bisa mengharapkan bapak untuk terus membiayai sekolahku. Aku sering
berdoa di Masjid. Aku merasa tenang sekali. Aku berdoa dan terus berdoa.
Tamat
SMA sebenarnya aku ingin kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Jawa. Tapi
apa mau dikata, orangtua memang tak mampu untuk membiayai kuliahku. Aku memang
punya cita-cita yang cukup tinggi tapi keterbatasan itu membuat aku
mengurungkan niatku.
Untungnya,
ini mungkin berkat doa ibuku, aku menerima beasiswa yang lebih dari cukup untuk
membiayai kuliahku di Universitas Tanjungpura. Aku
mendapatkan satu paket beasiswa dari panitia dari beberapa lembaga. Syaratnya,
nilai rata-rata Matematika dan bahasa Inggrisku tidak kurang dari 7. Aku sangat
bersyukur waktu itu.
Awal kuliah aku menggunakan sepeda balap. Perjalanan dari
rumah ke kampus sekitar 1,5 jam. Jaraknya sekitar 20 KM meter. Memang sukup
jauh. Tapi waktu itu aku benar lakukan dengan senang hati. Ngongkel sepeda
bukan hal yang aneh bagiku.Dengan kondisi keuangan yang seadanya aku memang
mesti bisa bertahan hidup. Aku harus mencapai apa yang aku inginkan. Dalam
masa-masa sulit itu aku mesti ekstra supaya aku bisa tetap kuliah. Aku sambilan
mengajar privat ke beberapa anak. Jangan tanya bagaimana aku mesti mengatur
duit yang aku punya.
Di kampus aku mulai aktif di berbagai lembaga, termasuk
lembaga dakwah. Semester 1 bahkan aku punya kelompok pengajian tersendiri. Aku
ikut kegiatan Badan Kerohanian Mahasiswa Islam. Pernah ikut pelatihan manajemen
dakwah. Bahkan sempat jadi mentor pengajian.
Suatu ketika aku melihat pengumuman penerimaan Lembaga
Pers Mahasiswa Untan. Saat itu tahun 2003, coba-coba, aku mendaftar. Pikirku
dalam hati, kalo bisa menulis aku akan bisa mengirim tulisan ke media massa. Awalnya
aku memang tidak terlalu aktif, karena aku masih aktif di HMJ dan di dakwah. Tapi akhirnya malah keterusan
Di LPM
Untan lah aku belajar banyak hal. Hingga aku tahu liku-liku yang cukup
mengasikkan. Menulis, turun ke jalan, aktifitas di gerakan, diskusi, dan
sebagainya. Di aktivitas gerakkan aku intens di Jaringan Mahasiswa Kalimantan
Barat. Sementara untuk menyambung hidup aku bekerja di beberapa media. Ya
bekerja sambilan agar bisa mendapatkan pendapatan buat kuliah dan hal-hal lain.
Seperti yang terus dilakukan emak, dia bekerja dengan sabar, aku pun ingin
bekerja dengan sabar dan berharap akan mendapatkan hal yang terbaik.
Kini
emak semakin tua. Namun dia masih tetap bekerja keras. Aku merasa belum bisa
memberikan apa-apa untuknya. Emak bilang pengin lihat aku dapat pendamping
hidup yang baik dan solehah. Ini yang paling berat untuk diwujudkan. Tapi
kuharap suatu ketika bisa mewujudkan keinginan emak ini. Kuingin membahagiakan
emak.
Semoga
saja
Amin...
No comments:
Post a Comment