Si Gila,
begitulah orang-orang orang-orang komplek menjulukinya. Julukan itu
sangat tepat untuk Serginov yang kumal, lecek, dan kotor. Tapi benarkah dia gila? Tapi
adakah orang gila yang mampu menulis bait-bait syair yang indah? Sudah ribuan
bait puisi yang ia buat. Puisi-puisi itu dikumpulkanya dalam kotak-kotak yang
tertumpuk di sebuah gudang bekas penyimpangan bir bergambar orangtua
berjenggot. Entah untuk apa Serginov terus saja menulis syair, tak ada yang
tahu.
Sesungguhnya
Serginov tak benar-benar gila. Ia hanya ingin bebas saja seperti orang gila
kemana saja tanpa beban, tanpa terikat status sosial, dan tanpa aturan-aturan
kemanusiaan yang selalu mengekang. Dia pun tak perlu membeli baju yang bagus
atau yang sepatu mengkilat seperti yang selalu dibangga-banggakan Ayahnya si
Brodus yang pongah. Tapi lebih dari semua itu Serginov ingin menjauh dari
kehidupan yang pernah mengecewakannya.
Serginov
muda adalah orang yang tampan, cerdas dengan bakat sastra yang luar biasa
jenius dan berasal dari keluarga terhormat kelas atas. Serginov seorang sarjana
lulusan Faculty Of Art yang mengambil spesialisasi pada syair-syair lama. Gaya hidupnya mentereng
dengan pakaian yang selalu klimis dan rapi. Dengan penghasilan yang lebih dari
cukup dari hasil royalty penulisan buku-bukunya yang laku keras di semua
penerbitan ia bisa mendapatkan segalanya termasuk wanita yang cantik nan genit.
Namun pilihan justru pada seorang gadis sederhana penjual buah di pinggir jalan Gravilla. Tapi malangnya gadis itu tewas tertabrak mobil pengangkut buku-buku puisinya pada hari yang sama saat ia ingin membacakan sebait puisi yang indah di depan gadis itu. Serginov lupa bahwa tak selamanya semua hal bisa dia dapatkan. Gadis itu bukan ukuran gadis yang bisa diterima keluarganya. Penjual buah tak pernah masuk dalam catatan – sesuai tradisi keluarga— untuk dijadikan sebagai menantu. Belakangan Serginov ketahui ayahnyalah yang merencanakan tabrakan itu.
Namun pilihan justru pada seorang gadis sederhana penjual buah di pinggir jalan Gravilla. Tapi malangnya gadis itu tewas tertabrak mobil pengangkut buku-buku puisinya pada hari yang sama saat ia ingin membacakan sebait puisi yang indah di depan gadis itu. Serginov lupa bahwa tak selamanya semua hal bisa dia dapatkan. Gadis itu bukan ukuran gadis yang bisa diterima keluarganya. Penjual buah tak pernah masuk dalam catatan – sesuai tradisi keluarga— untuk dijadikan sebagai menantu. Belakangan Serginov ketahui ayahnyalah yang merencanakan tabrakan itu.
Serginov
terpukul. Hari-hari yang gelap yang ia tak mampu hadapi sebagai orang yang waras,
sampai suatu ketika dia merasa terbebas sama sekali dari beban setelah
memutuskan menjadi orang yang gila. Ia terbebas dari harta benda dan
keinginan-keinginan orang yang waras. Satu-satunya barang miliknya hanyalah
buku tulis berkover hijau lumut dan pena yang terbuat dari bambu yang selalu ia
bawa ke mana-mana.
Serginov
akan lama diam mematung di pinggir Water Garden di Pusat Kota Tua memandangi patung lelaki telanjang
di tengah air mancur yang dari kemaluannya mengucur air yang gemericik. Dia
suka dengan bunyi gemericik itu. Lebih suka dari musik klasik yang dulu sering
diputar dikeluarganya sebagai penanda kehormatan keluarga kelas atas.
Serginov
suka menulis-nulis sesuatu di buku catatan berkover hijau lumut itu.
Dibacanya
kembali tulisan yang ia buat dengan suara yang lirih. Diejanya satu persatu,
dicoretnya kalimat yang tak sesuai, dan diganti dengan kata-kata yang baru.
Sesekali dijentik-jentikanya kertas yang baru saja ia tulis seperti anak kecil
yang sedang menggambar. Dia akan senang kegirangan, memutar-mutar tubuhnya
seperti kincir angin, dan tertawa sekeras mungkin, bila tulisan itu sudah
mengena di hatinya.
Entah
mengapa ia selalu merasakan kesenangan menjadi orang yang gila. Dia akan
mengawasi kehidupan orang-orang yang waras dan kemudian mencatatnya menjadi
sebuah bait syair yang sarkas. Kadang juga ia ingin membuat catatan-catatan
yang indah dari berita-berita pembunuhan yang selalu ia baca dari koran-koran
kriminal yang ia dapatkan secara cuma-cuma dari tong-tong sampah. Dengan begitu
dia bisa menyelami banyak hal kecil dan mungkin sepele yang tak diperhatikan
orang yang waras.
Baginya
orang-orang yang waras justru orang yang gila dan tak punya moral ketimbang
orang yang benar-benar gila. Orang-orang berpakain seragam yang selalu tampil
dengan tampang galak itu selalu mengejar-ngejarnya ingin menangkapnya. Suatu
siang yang panas dia berhasil tertangkap juga oleh petugas ketertiban kota yang kemudian
mengangkutnya dengan sebuah truk terbuka. Serginov mencoba lari, tetapi
tertangkap lagi. Ia dipukuli berkali-kali. Tapi beruntung di sebuah belokan
yang sepi ketika para petugas itu lengah Serginov berhasil melarikan diri.
Serginov
lari jauh-jauh dari kota ,
pindah ke tepi sebuah danau yang tak berpenghuni yang terbebas dari para
petugas ketertiban. Ia duduk di bawah pohon rindang, menyandarkan badannya pada
batang pohon. Wajahnya Tampak letih dan kusam dengan rambut yang acak-acakan
tak pernah disisir. Napasnya ngos-ngosan seperti sapi yang lehernya dijerat
tali. Matanya nanar yang kosong memandang ke danau yang berlumut.
Tangan
kanan Serginov yang kasar itu memegang pulpen sementara tangan kirinya memegang
buku catatan berkover hijau. Disentil-sentilnya pulpen bambunya dengan ujung
jarinya untuk menurunkan tinta agar mudah menulis. Selanjutnya ia semakin tak
peduli pada dunia. Dia tenggelam dalam dunia sunyi, dunia yang indah dan bebas.
Dia kini menjadi Gila. Benar-benar gila.[]
1 comment:
hai, apa kabar? masih ingat kan sama aku? waktu di semarang dulu. wah progess kamu pesat sekali. glad to know it!
Post a Comment