Oleh
Heriyanto
Politik
tak selamanya jelek, walau tak selamanya baik. Namun siapa pun yang menyangka
bahwa politik pada awalnya adalah hal yang memuakkan, tentu keliru. Plato orang
yang paham akan hal ini. Dalam uraian yang mengejutkan yang saya baca dari buku
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Plato tak membicarakan politik sebagai
yang memuakkan itu, namun hal yang indah dan menawan.
Politik
bagi Plato adalah sebuah keluhuran, bahkan menjadi karya kreatif yang indah dan
bernilai seni. Semua ilmu pada akhirnya akan melayani politik, demi sebuah
kepentingan yang lebih luas: kesejahteraan rakyat. Politik dibutuhkan, karena
manusia butuh sebuah tata dalam bernegara. Dan itu mengisaratkan satu hal:
politik adalah keniscayaan, dan tidak semestinya ditolak, diharamkan.
Melalui
karya yang berjudul Republik, Plato menetapkan pembagian warga negaranya
menjadi tiga kelas: rakyat biasa, kaum serdadu, dan golongan pemimpin. Hanya
kelas terakhir yang memiliki kekuasaan politik. Memiliki kekuasaan politik
berarti mereka, golongan pemimpin itu, memegang hajat hidup rakyat. Karena itu
mereka wajib memiliki “kebijaksanaan”. Tanpa ini, seorang pemimpin hanya akan
menjadi perusak. Aristoteles malah memberikan syarat: seorang pemimpin haruslah
seorang filsuf, pencinta
kebijaksanaan.
Kebijaksaan
yang dimaksudkan Plato sebagaimana diulas Bertrand Russel, seorang filsuf di
era modern, bukanlah semacam keterampilan khusus, seperti yang dimiliki oleh
tukang sepatu, dokter, atau ahli bangunan. Ia mestilah sesuatu yang lebih luas
daripada keterampilan itu, sebab orang yang memilikinya dianggap mampu memimpin
pemerintahan dengan bijaksana. Kebijaksaan itu muncul sebagai perpaduan antara
kemampuan intelektual dan disiplin moral. Keutamaan intelektual dihasilkan dari
pengajaran, sementara keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Kita menjadi adil
dengan menjalankan kebiasaan yang adil. Negarawan tidak korup dengan
membiasakan diri hidup bersih. Seorang negarawan tidak menipu, tidak
menyeleweng, dan tidak mendustai rakyat yang dipimpinnya; karena dia paham
bahwa itu salah.
Dengan
kata lain, seorang yang bijaksana akan melakukan apa yang benar; dan mampu
membedakan yang benar itu dari yang salah. Dengan itu akan tercipta
pemerintahan yang baik. Suatu pemerintahan dianggap baik bila jika bertujuan
mencapai kebaikan bagi seluruh masyarakat, dan dianggap buruk jika mementingkan
diri sendiri. Dengan mengambil konsepsi tokoh zaman Yunani kuno ini, sebenarnya
kita mengiyakan bahwa politik, yang pada akhirnya akan melayani urusan
kenegaraan itu, sesuatu yang mulia. Tapi persoalan tak berhenti di situ.
Politik dimaksudkan Plato barangkali berbeda dengan apa yang kita pahami
sebagai politik di masa kini. Ide-ide Plato berbenturan dengan ide-ide modern.
Adakah orang yang dianggap bijaksana itu? Dan bagaimana orang-orang
bijaksana itu diciptakan?
Memang
dalam kenyataannya sosok negarawan bijaksana seperti penggambaran Plato sulit
ditemukan. Seorang negarawan akan berhadapan dengan berbagai pilihan, dan
dengan begitu kompromi menjadi keniscayaan. Di antara keputusan yang diambil
kesalahan bisa terjadi. Presiden bisa berbuat keliru. Para
anggota DPR sering linglung; raja kerap bertindak di luar batas; para paus,
meski dianggap tak dapat berbuat salah, kerap melakukan kesalahan-kesalahan
yang memprihatinkan. Inilah kritik Russel pada ide Plato tentang sosok
negarawan.
Boleh
saja dianjurkan presiden harus lulusan universitas. Mungkin saja mempercayakan
negara ini pada doktor teologi. Tetapi apakah kebijaksanaan politik bisa
diperoleh lewat universitas? Universitas yang tepat macam apa? Tak ada yang
bisa memastikan bahwa seseorang yang terpelajar akan lebih baik secara moral
ketimbang orang-orang yang tak terpelajar, atau seseorang yang pandai dibanding
dengan orang yang bodoh.
Manusia
modern (jika boleh dipakai untuk menyebut manusia masa kini) lebih suka memakai
demokrasi untuk memilih pemimpin. Namun demokrasi pun sering salah memilih.
Sistem demokrasi, layaknya undian dengan teori peluang, punya kemungkinan
memilih negarawan yang punya kecapakan intelektual sekaligus moral. Namun
sebaliknya bisa lebih buruk, memilih penjahat.
Saya
masih tak sepenuhnya percaya bahwa partai politik yang nilai dasarnya
kepentingan dan kekuasaan itu mampu menghadirkan negarawan yang cakap. Tidak
ada yang bisa menjamin bahwa sistem ini mampu menghasilkan pemimpin yang
terbaik, meski sampai saat ini demokrasi dianggap lebih baik ketimbang sistem
lain. Pemimpin besar Indonesia
macam Soekarno, Syahrir, Hatta bukan pemimpin yang diciptakan dari demokrasi. Mao
Tse Tung, Marx, atau Ghandi di luar sana
pun demikian. Mereka terlahir dari sesuatu yang belum jelas, antara cita-cita
dan perjuangan, namun tidak dipilih lewat undian.
Mencari
sosok negarawan yang bijaksana seperti dalam konsepsi negara Ideal Plato,
mungkin utopia, mungkin juga keniscayaan. Namun biar begitu ide Plato itu
mestinya menjadi pijakan bagi para negarawan saat ini dalam mengelola negara. Kita
sedih ketika negarawan kita tak lagi memperhatikan etika dalam berpolitik, tak
santun, serakah, dan tak lagi peduli pada keluhuran.
Kita sedih ketika melihat bagaimana para pemimpin kita menjalankan politik dengan kotor. Sebagian besar dari mereka hanya
menumpuk harta dan mendurhakai rakyatnya. Mungkin bila masih hidup Plato juga
akan sedih. Entah masih pantaskah golongan pemimpin Indonesia saat ini disebut
negarawan. []
2 comments:
Menurut Jumadi Asnawi:Ngara harus berdasarakan Khalifah..selain khalifah Taughud...You...now....
Nilai kebenaran politik sulit diukur, sebab politik akan menikam dua sisi, entah yang baik dan buruk, tetap berdarah...Namun kpentingan yang bisa saya pahami, keberpihakkan kepada siapa...itu, Maka Setiap kebenaran yang diyakini walau menyalahi aturan formal maka harus dijalankan.
Post a Comment