Oleh Heriyanto
Waktu terus berputar seperti jarum jam. Selamat datang tahun 2008: tahun (yang) baru. Ramai-ramai kita merayakannya dengan gembira, masing-masing dengan tingkah-polahnya: pawai, plesiran, mencari peruntungan lewat ramalan, bikin resolusi akhir tahun, atau adapula yang menyampaikan doa dengan khidmat. Orang-orang berucap: semoga setahun ke depan hidup lebih baik, rejeki bertambah, tercukupi sandang pangan, kemiskinan berkurang, dan tak ada lagi bencana.
Suatu kewajaran bila kita berharap sesuatu yang lebih baik di tahun depan. Hanya saja kita juga mesti tabah, karena harapan-harapan kita itu lebih sering terbang begitu saja entah kemana. Hilang diterpa angin puting beliung, dihanyutkan banjir, dan tertimbun tanah longsor. Betapa seringnya apa yang kita angankan dan kita pikirkan jauh di atas kenyataan apa yang kita dapatkan.
Bukankah tahun baru setahun yang lalu, kita juga pernah berucap hal sama seperti kali ini. Bahkan di tahun baru setahun sebelumnya lagi juga begitu. Tahun baru 10 tahun yang lalu sepertinya begitu juga. Harapan-harapan yang kita ucapkan tak beranjak dari yang itu-itu saja. Kalau begitu mungkin tahun depan kita juga akan mengucapkan harapan yang sama seperti tahun ini.
Kita masih berada di “Ruang” yang sama namun dalam perentangan waktu yang berbeda. Ruang itu bernama Indonesia. Sebuah wilayah geografis yang terbatas dan punya batas. Yang masih banyak kemiskinan di dalamnya, yang masih penuh dengan ketimpangan, yang penuh dengan kondisi keterbelakangan. Karena setiap tahun masalah yang kita hadapi tak beranjak dari persoalan yang itu-itu saja, maka harapan dan doa yang diucapkan hanya pengulangan tiap tahun saja.
Tapi beruntung kita masih mengenal tahun baru. Jadi kita bisa sedikit bergaya: tahun ini berdasarkan indikator tertentu kita lebih baik dari tahun kemarin lho! Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati akan bikin hitung-hitungan. Berapa koruptor yang diadili pada 2006, berapa pula yang dieksekusi pada 2007. Begitupula angka kemiskinan tahun lalu dibandingkan tahun ini. Hasilnya? Beda tahun tapi sama rekornya: sama-sama banyaknya. Jumlah koruptornya banyak tapi sedikit yang diadili apalagi masuk penjara. Angka kemiskinannya juga sama: hanya beda-beda tipis. Kita hargai saja niat mereka untuk memberantas korupsi, juga memberantas kemiskinan. Meski masih sebatas niat, sudah Alhamdulillah.
Kita jangan hanya mencatat yang jelek-jelaknya saja, kata Pak Presiden. Ini Indonesia tahun 2008, bukan Indonesia sepuluh-dua puluh tahun lalu. Bukankah di mana-mana kita berhasil melaksanakan pemilihan kepala daerah langsung. Kita memeroleh pemimpin baru secara demokratis. Kita sudah bebas bicara, kita tak lagi seperti Myanmar yang otoriter pemerintahnya. Bukankah dengan itu kita dielu-elukan sebagai negara demokrasi terbesar, di mana hanya Amerika yang mampu menyaingi? Cina, Jepang, Arab Saudi bukan apa-apanya dibanding Indonesia dalam hal demokrasi (prosedural). Mereka perlu belajar dari Indonesia. Ini catatan positif yang bisa dibanggakan, meski jika boleh jujur kita belum begitu memahami dan menerapkan substansi demokrasi yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Demokrasi yang kita pahami ya demokrasi coblos-coblosan, demokrasi pemungutan suara.
Sementara kita sudah bicara soal demokrasi, penghapusan kemiskinan, berantas korupsi dan lain sebagainya yang baik itu, namun struktur yang dipakai masih stuktur yang lama, kebiasaan kita masih kebiasaan lama, kesalahan kita masih kesalahan yang lama. ‘Keusangan struktur” kata Anthony Giddens, seorang teoritisi strukturalisme dari London, Inggris.
Misalnya saja, rutinitas tindakan atau praktik suap menyuap kita pada akhirnya akan membentuk struktur KKN di Indonesia. Ketidakjujuran dalam proses peradilan yang berlangsung lama akan membentuk strukur mafia peradilan. Ini akan menjadi keterulangan dan akhirnya berputar-putar saja kita kerjanya. Kita kemudian menjadi terbiasa dengan hal itu. Kita tak akan lagi kaget ketika mendengar seorang gubernur atau anggota DPR korupsi. Sebagaimana kita tak perlu bertanya mengapa makan dengan tangan kanan, para pejabat yang melakukan korupsi tak perlu bertanya mengapa mereka korupsi. Korupsi sama halnya makan sudah menjadi kebiasaan.
Pemerintahan orde baru berkuasa selama 32 tahun, dan selama itu struktur sosial orde baru terbentuk. Inginnya perubahan, maunya reformasi, namun struktur yang dipakai masih struktur orde baru. Katakanlah si orde baru yang hidup di era reformasi. Praktik suap menyuap di mana-mana, mafia peradilan tak ketulungan, instansi-instansi penegak hukum mandul, pegawai negeri banyak yang malas bekerja, pelayanan publik tak jalan, dan cara pemerintah mengatasi kemiskinan masih sama dengan masa lalu.
Jika penyakitnya sudah kronis kita harus memangkas struktur yang usang, membuangnya dan menggantinya dengan yang baru, yang sesuai dengan kebutuhan. Perubahan struktur berarti perubahan skemata agar lebih sesuai dengan praktik sosial yang terus berkembang secara baru.
Kalau tidak berarti kita akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Semacam kesalahan yang kita ulang setiap tahun, sehingga perubahan itu tak datang-datang juga. Kita sering lupa dengan kesalahan-kesalahan itu. Kita hanya seolah-olah merasa pernah mengalami hal yang sama. De javu namanya. Kebaikan yang berulang, itu keberkahan. Sementara kesalahan yang berulang bencana namanya.
Kok saya merasa sepertinya hal ini pernah terjadi? Semuanya diputar kembali setiap tahunnya: kemiskinan, ketertinggalan, korupsi,... Mungkin tahun baru tahun depan saya masih menulis hal yang sama. De javu di tahun yang baru!
Sebuah Catatan Dalam Ruang Sempit: Karena Kebenaran Tak Bisa Menunggu Untuk Diperjuangkan
Wednesday, December 26, 2007
Friday, December 14, 2007
Saya (kedua dari kiri) dan Redaksi Pontianak Post berfoto bersama dengan Kapolda Kalbar, Zainal Abidin Ishak, di Graha Pena Pontianak Post. Ini Kunjungan pertama Zainal ke Kantor Pontianak Post. Menurutnya media harus mampu menjalankan fungsi sebagai social control, edukasi, informasi, dan hiburan.
Saya (berbaju hitam, kedua dari kanan bawah) berpose bersama Pemimpin Redaksi Pontianak Post dan para wartawan di depan Graha Pena Pontianak setelah kunjungan Kapolda ke harian Pontianak Post.
Friday, December 7, 2007
voice azan calls me
by Heri Limbung
I woke up in a morning moment Azan exclaims
Devils make a fresh starts to its den
Nevertheless he have time to gives my blanket
From sheepskin
And I float return to space
I are woke up in a morning moment azan exclaims
A couple of days ago he lure me
To accompanies it comes home
With set of enjoyment voice
oh, serious condition, I already conduct it
I are woke up in a morning moment Azan exclaims
that laugh voice continues heard in my brain
I go Powerlessly
Because of has been thrown away a mass in milli calculation
I are woke up in a morning moment azan exclaims
Me pulled back blanket that a couple of days ago the of
I go Powerlessly
Because of has been played around with, I must knock at the God Door
the poetry i dedicate for the special woman.. (pontianak city, early in the morning)
I woke up in a morning moment Azan exclaims
Devils make a fresh starts to its den
Nevertheless he have time to gives my blanket
From sheepskin
And I float return to space
I are woke up in a morning moment azan exclaims
A couple of days ago he lure me
To accompanies it comes home
With set of enjoyment voice
oh, serious condition, I already conduct it
I are woke up in a morning moment Azan exclaims
that laugh voice continues heard in my brain
I go Powerlessly
Because of has been thrown away a mass in milli calculation
I are woke up in a morning moment azan exclaims
Me pulled back blanket that a couple of days ago the of
I go Powerlessly
Because of has been played around with, I must knock at the God Door
the poetry i dedicate for the special woman.. (pontianak city, early in the morning)
Thursday, December 6, 2007
Takdir Pers sebagai Watch Dog Demokrasi
Oleh Heriyanto
Sudah takdirnya pers berperan sebagai social control. Dan dengan takdir itu berarti pers harus siap untuk menggongong. Kita teringat dengan bukunya Omi Intan Naomi yang menyebut pers sebagai Anjing Penjaga Demokrasi. Filosopinya: menyalak dengan garang bila ada kekeliruan, mengonggong dengan keras bila ada kezaliman, dan akan terus mengejar bila ada hal yang tidak beres. Korupsi, perselingkuhan kekuasaan, kelaparan, kemiskinan, semua itu perlu diberitakan, dikiritik, dikoreksi untuk kemudian diperbaiki. Setiap saat Pers akan memantau, memberikan warning, sesekali menggonggong dengan galak.
Sudah takdir pers pula untuk terus melihat yang kadang tak dilihat oleh institusi lain itu. Kita ingat kisah Risky bocah malang yang terkena tumor yang akhirnya meninggal dunia beberapa waktu lalu. Orangtuanya tidak mampu mengobatkan anaknya karena tak punya uang. Dia harus diberitakan dulu baru ibu menteri marah-marah pada pejabat berwenang di daerah.
Duit negara juga perlu diawasi penggunaannya, agar tidak diselewengkan. Peradilan kasus korupsi mesti terus dipantau oleh pers dan disampaikan pada publik sehingga publik bisa melakukan kontrol agar proses peradilan itu bisa berjalan dengan semestinya. Pers juga perlu memberitakan hal yang mungkin kelihatan kecil, penyunatan dana beasiswa mahasiswa misalnya.
Jika kita setuju bahwa peran pers penting, kita sebagai orang yang berpikiran waras tentu akan sangat mendukung terhadap setiap usaha agar pers memperoleh kemerdekaan dalam menjalankan perannya sebagai penjaga demokrasi. Pada jaman orde baru pers tumpul, tak tajam, dan mandul. Karena kekuasaan memang tak bisa tahan bila pers terlalu tajam kritiknya, bila pers terlalu kuat suaranya. Pemerintah takut pers mengontrol kinerjanya. Maka pemerintah yang ketakutan itu membuat aturan-aturan yang membatasi kerja pers. Mereka yang melawan pemerintah dibreidel, ijinnya dicabut, dan wartawannya dipenjara. Pers yang masih ingin hidup harus berhati-hati, bikin berita yang lunak-lunak saja, atau yang bikin berita yang mendukung kebijakan pemerintah atau juga bikin berita yang tidak ngurusin dapurnya pemerintah.
Tapi itu dulu, waktu jaman orde baru. Di jaman orde yang paling baru, orde reformasi, pers bisa bernafas lega. Karena pers bisa lebih leluasa ketimbang masa orde baru. Pers tidak lagi dikekang, tidak takut dibreidel dan wartawannya tidak lagi takut kena penjara gara-gara mengkritik pemerintah. Tapi benarkah kita sudah dapatkan kebebasan itu?
Tidak dibreidel mungkin iya. Pemerintah tidak lagi kurang kerjaan harus mengurusi tetek bengek pemberitaan lalu mensensornya. Kita berterima kasih pada aktivis pro demokrasi. Tapi kita mungkin lupa, para pengancam kebebasan pers bisa saja bertransformasi ke bentuk lain. Kita ingat kasus Tempo vs Tommy Winata. Tommy Winata menggugat Tempo atas pemberitaannya soal kebakaran Pasar Tanah Abang. Bukan hanya ancaman penjara, tapi wartawannya diintimidasi, dipukul, dan diancam oleh para preman. Bahkan pimrednya juga hampir saja masuk bui. Kita juga ingat kasus harian Indopos, Grup Jawa Pos yang kantornya dirusak anak buah Hercules. Beberapa perangkat komputer dirusak. Wartawannya juga sempat dipukul, diancam, diintimidasi.
Intimidasi kerja pers berarti pengekangan pada kebebasan dan berarti pula pencederaan terhadap Hak Asasi Manusia. Termasuk hak pelakunya sendiri. Ini adalah bentuk aksi premanisme.
Tak terlalu mengherankan bila pelakunya Hercules, orang yang terkenal sebagai preman pasar. Mungkin cara itu yang paling ia mengerti. Bukan urusan Hercules untuk mempelajari Undang-undang Pers. Padahal di sana diatur bagaimana cara mengklarifikasi berita yang dipublikasikan, soal hak jawab.
Kita tahu bahwa dalam negara demokrasi, kebebasan pers diakui oleh negara. Negara sekali pun tidak boleh mencampuri dan mengintimidasi pers. Tapi tentu saja pers bisa saja keliru. Jurnalis juga bisa salah. Tapi jurnalis tidak boleh diintimidasi dengan jalan kekerasan. Pihak yang dirugikan dalam pemberitaan pers dapat menggunakan Hak Jawab mereka. Hak jawab penting untuk mengoreksi berita yang sudah ditulis dan dimuat dalam media massa. Jika memang terjadi kesalahan, media yang bersangkutan berhak melakukan ralat atau klarifikasi atas kesalahan yang terjadi. Tulisan dibalas tulisan, opini dibalas opini, dan kesalahan perlu diperbaiki. Tapi tulisan tidak boleh dibalas kekerasan, getokan kepala, atau penjara.
Tapi ini yang bikin kita terheran-heran. Massa mahasiswa yang dimotori BEM Fisip Untan ramai-ramai mendatangi Lembaga Pers Mahasiswa Untan (Mimbar Untan) protes soal berita penyunatan beasiswa yang dirilis oleh Mimbar Untan. Redaksi Mimbar Untan diintimidasi, bahkan salah seorang reporternya diancam, digetok kepalanya.
Perilaku ini tidak jauh beda seperti apa yang dilakukan oleh Hercules. Sebuah bentuk premanisme. Hanya saja pelakunya berbeda. Jika anak buah Hercules adalah preman pasar dan tidak sekolah, nah peristiwa kemarin lalu itu dilakukan oleh mahasiswa yang nota benenya punya pendidikan tinggi dan seharusnya bisa belajar, termasuk bagaimana menyelesaikan persoalan jurnalistik.
Sudah jadi takdir pers untuk melakukan kontrol sosial. Mimbar Untan memberitakan soal penyunatan beasiswa? Ini adalah sebuah bentuk kontrol. Ini mestinya ditindaklanjuti dengan misalnya penyelidikan atau semacam investigasi. Benarkah penyunatan itu ada. Silahkan membentuk tim pencari fakta. Pihak-pihak yang berkepentingan perlu dilibatkan. Bila ternyata di lapangan benar adanya fakta itu harus ada langkah-langkah selanjutnya.
Mahasiswa boleh mendemo fakultas, pihak fakultas segera menyikapi secara kelembagaan. Ini khan sesuatu yang sangat tidak diperbolehkan dalam dunia akademik. Karena akan menjadi tumor ganas yang akhirnya membunuh diri sendiri. Bila ternyata berita itu salah, silahkan bikin sangkalan. Klarifikasi. Berikan bukti-bukti yang mendukung. Mimbar Untan wajib memberikan ralat.
Ini berkenaan dengan logika berpikir. Ada sebuah anekdot ringan: Nasarudin si bijaksana itu melaporkan bahwa telah terjadi pencurian. Dia tahu siapa pencurinya. Tapi bukannya si pencuri yang ditangkap, eh malah si Nasarudin. Ini khan kesalahan logika berpikir yang cukup fatal.
Dengan melihat persoalan lebih jernih dan tentunya akan dengan hati nurani, tentu tidak akan ada pelanggaran kebebasan pers. Tapi karena memang takdir pers untuk mengontrol, terima saja nasib itu! Sudah nasib belum siap untuk berdemokrasi.
Penulis adalah Mantan Ketua Umum LPM Untan
Sudah takdirnya pers berperan sebagai social control. Dan dengan takdir itu berarti pers harus siap untuk menggongong. Kita teringat dengan bukunya Omi Intan Naomi yang menyebut pers sebagai Anjing Penjaga Demokrasi. Filosopinya: menyalak dengan garang bila ada kekeliruan, mengonggong dengan keras bila ada kezaliman, dan akan terus mengejar bila ada hal yang tidak beres. Korupsi, perselingkuhan kekuasaan, kelaparan, kemiskinan, semua itu perlu diberitakan, dikiritik, dikoreksi untuk kemudian diperbaiki. Setiap saat Pers akan memantau, memberikan warning, sesekali menggonggong dengan galak.
Sudah takdir pers pula untuk terus melihat yang kadang tak dilihat oleh institusi lain itu. Kita ingat kisah Risky bocah malang yang terkena tumor yang akhirnya meninggal dunia beberapa waktu lalu. Orangtuanya tidak mampu mengobatkan anaknya karena tak punya uang. Dia harus diberitakan dulu baru ibu menteri marah-marah pada pejabat berwenang di daerah.
Duit negara juga perlu diawasi penggunaannya, agar tidak diselewengkan. Peradilan kasus korupsi mesti terus dipantau oleh pers dan disampaikan pada publik sehingga publik bisa melakukan kontrol agar proses peradilan itu bisa berjalan dengan semestinya. Pers juga perlu memberitakan hal yang mungkin kelihatan kecil, penyunatan dana beasiswa mahasiswa misalnya.
Jika kita setuju bahwa peran pers penting, kita sebagai orang yang berpikiran waras tentu akan sangat mendukung terhadap setiap usaha agar pers memperoleh kemerdekaan dalam menjalankan perannya sebagai penjaga demokrasi. Pada jaman orde baru pers tumpul, tak tajam, dan mandul. Karena kekuasaan memang tak bisa tahan bila pers terlalu tajam kritiknya, bila pers terlalu kuat suaranya. Pemerintah takut pers mengontrol kinerjanya. Maka pemerintah yang ketakutan itu membuat aturan-aturan yang membatasi kerja pers. Mereka yang melawan pemerintah dibreidel, ijinnya dicabut, dan wartawannya dipenjara. Pers yang masih ingin hidup harus berhati-hati, bikin berita yang lunak-lunak saja, atau yang bikin berita yang mendukung kebijakan pemerintah atau juga bikin berita yang tidak ngurusin dapurnya pemerintah.
Tapi itu dulu, waktu jaman orde baru. Di jaman orde yang paling baru, orde reformasi, pers bisa bernafas lega. Karena pers bisa lebih leluasa ketimbang masa orde baru. Pers tidak lagi dikekang, tidak takut dibreidel dan wartawannya tidak lagi takut kena penjara gara-gara mengkritik pemerintah. Tapi benarkah kita sudah dapatkan kebebasan itu?
Tidak dibreidel mungkin iya. Pemerintah tidak lagi kurang kerjaan harus mengurusi tetek bengek pemberitaan lalu mensensornya. Kita berterima kasih pada aktivis pro demokrasi. Tapi kita mungkin lupa, para pengancam kebebasan pers bisa saja bertransformasi ke bentuk lain. Kita ingat kasus Tempo vs Tommy Winata. Tommy Winata menggugat Tempo atas pemberitaannya soal kebakaran Pasar Tanah Abang. Bukan hanya ancaman penjara, tapi wartawannya diintimidasi, dipukul, dan diancam oleh para preman. Bahkan pimrednya juga hampir saja masuk bui. Kita juga ingat kasus harian Indopos, Grup Jawa Pos yang kantornya dirusak anak buah Hercules. Beberapa perangkat komputer dirusak. Wartawannya juga sempat dipukul, diancam, diintimidasi.
Intimidasi kerja pers berarti pengekangan pada kebebasan dan berarti pula pencederaan terhadap Hak Asasi Manusia. Termasuk hak pelakunya sendiri. Ini adalah bentuk aksi premanisme.
Tak terlalu mengherankan bila pelakunya Hercules, orang yang terkenal sebagai preman pasar. Mungkin cara itu yang paling ia mengerti. Bukan urusan Hercules untuk mempelajari Undang-undang Pers. Padahal di sana diatur bagaimana cara mengklarifikasi berita yang dipublikasikan, soal hak jawab.
Kita tahu bahwa dalam negara demokrasi, kebebasan pers diakui oleh negara. Negara sekali pun tidak boleh mencampuri dan mengintimidasi pers. Tapi tentu saja pers bisa saja keliru. Jurnalis juga bisa salah. Tapi jurnalis tidak boleh diintimidasi dengan jalan kekerasan. Pihak yang dirugikan dalam pemberitaan pers dapat menggunakan Hak Jawab mereka. Hak jawab penting untuk mengoreksi berita yang sudah ditulis dan dimuat dalam media massa. Jika memang terjadi kesalahan, media yang bersangkutan berhak melakukan ralat atau klarifikasi atas kesalahan yang terjadi. Tulisan dibalas tulisan, opini dibalas opini, dan kesalahan perlu diperbaiki. Tapi tulisan tidak boleh dibalas kekerasan, getokan kepala, atau penjara.
Tapi ini yang bikin kita terheran-heran. Massa mahasiswa yang dimotori BEM Fisip Untan ramai-ramai mendatangi Lembaga Pers Mahasiswa Untan (Mimbar Untan) protes soal berita penyunatan beasiswa yang dirilis oleh Mimbar Untan. Redaksi Mimbar Untan diintimidasi, bahkan salah seorang reporternya diancam, digetok kepalanya.
Perilaku ini tidak jauh beda seperti apa yang dilakukan oleh Hercules. Sebuah bentuk premanisme. Hanya saja pelakunya berbeda. Jika anak buah Hercules adalah preman pasar dan tidak sekolah, nah peristiwa kemarin lalu itu dilakukan oleh mahasiswa yang nota benenya punya pendidikan tinggi dan seharusnya bisa belajar, termasuk bagaimana menyelesaikan persoalan jurnalistik.
Sudah jadi takdir pers untuk melakukan kontrol sosial. Mimbar Untan memberitakan soal penyunatan beasiswa? Ini adalah sebuah bentuk kontrol. Ini mestinya ditindaklanjuti dengan misalnya penyelidikan atau semacam investigasi. Benarkah penyunatan itu ada. Silahkan membentuk tim pencari fakta. Pihak-pihak yang berkepentingan perlu dilibatkan. Bila ternyata di lapangan benar adanya fakta itu harus ada langkah-langkah selanjutnya.
Mahasiswa boleh mendemo fakultas, pihak fakultas segera menyikapi secara kelembagaan. Ini khan sesuatu yang sangat tidak diperbolehkan dalam dunia akademik. Karena akan menjadi tumor ganas yang akhirnya membunuh diri sendiri. Bila ternyata berita itu salah, silahkan bikin sangkalan. Klarifikasi. Berikan bukti-bukti yang mendukung. Mimbar Untan wajib memberikan ralat.
Ini berkenaan dengan logika berpikir. Ada sebuah anekdot ringan: Nasarudin si bijaksana itu melaporkan bahwa telah terjadi pencurian. Dia tahu siapa pencurinya. Tapi bukannya si pencuri yang ditangkap, eh malah si Nasarudin. Ini khan kesalahan logika berpikir yang cukup fatal.
Dengan melihat persoalan lebih jernih dan tentunya akan dengan hati nurani, tentu tidak akan ada pelanggaran kebebasan pers. Tapi karena memang takdir pers untuk mengontrol, terima saja nasib itu! Sudah nasib belum siap untuk berdemokrasi.
Penulis adalah Mantan Ketua Umum LPM Untan
Monday, December 3, 2007
Benang merah sang DEVI
Satu catatan kecil.
by heriyanto
Menulis adalah untuk mengikat ingatan. Begitulah Sang Devi mengemukakan alasannya menulis. Sederhana. Dia sadar punya kelemahan dalam menulis. Namun seperti strategi perang Sun Tzu, untuk sukses orang harus melawan kelemahannya, melawan kekurangannya. Ketakutan manusia adalah penghalang terbesar manusia. Satu-satu jalan untuk menang: memeranginya.
Sang Devi menulis puisi sejak kecil. Dia sering ikut lomba puisi. Dan sering menang. Juga sering kalah. Namun ada momen yang membuatnya terhenyak. Ada satu kenyataan bahwa banyak orang berpuisi: membaca dan membuat puisi tanpa kemerdekaan. Berkiblat pada penyair A, atau pada penyair B. Berkiblat pada Rendra, berkiblat pada Sutarji Colsum Bahri, pada Taufik Ismail, pada Sapardi Joko Damono, atau pada sastrawan yang lain.
Kita tidak berpuisi. Namun hanya meniru. Meniru gaya, meniru ucapan, meniru intonasi. Bukankah puisi adalah sebuah ekspresi jiwa yang merdeka (?). begitu Sang Devi ingin menggugat. Mengapa harus terkungkung oleh ini dan itu, aturan ini dan itu, atau pada pakem-pakem tertentu. Devi ingin menulis puisi dengan merdeka, dengan bebas. Puisi itu singkat jujur. ‘Gak bertele-tele. Celetukan hati yang pertama. dan inilah yang Devi ingin sampaikan.
Kita merasakan kesederhanaan itu dalam puisi Ulang Tahun (hal 1): “Hepi besdey/ aku ulang tahun/ 1,2,3/ hitung lilin/ dapat kado!//”
“Aku selalu merasa selalu ada kata yang mengganjal”, kata Sang Devi. Dan yang mengganjal itu merisaukan. Dari kerisauan ini akan membentuk kata-kata. Dan kata-kata itu mewujud menjadi puisi. Buku inilah hasil dari apa yang mengganjal. Mengganjal di pikiran, di hati, dan di laku perbuatan.
Dalam antologi puisinya Devi lebih suka dengan kata AKU. Dia suka becerita lewat ke-Aku-annya. Karena dengan membaca Aku, Sang Devi merasa rileks dan menempatkan diri pada sosok si tokoh. Put yours self into someone else’s shoes. Cobalah memposisikan diri anda pada diri orang lain. Untuk merasakan empati. Merasakan si tokoh. Begitulah bila kita membaca AKU.
Selintas puisi Sang Devi mudah dicerna dan sederhana, namun bila kita kembali membaca, akan ada makna yang berbeda. Puisinya bermakna ganda. Kita bisa punya intreprestasi berbeda meskipun membaca puisi yang sama. Begitulah puisi Sang Devi. Dari situ kita belajar menghadapi kebingungan.
Puisi Sang Devi juga terkesan vulgar. Mungkin ia ingin menyampaikan kejujuran. Kepolosan. Tak ditutup-tutupi. Seperti dalam puisi Aku Kau (hal 72): “ Terpuaskan nafsu memburu/ hingga teriakkan desahan/ inginku akanmu/ tak akan pernah luntur/ inginku pelukmu/ berbagi aman/ berbagi ciummu/ bakar asmara/….”.
Seperti kata-kata dalam pengantar: kejujuran, proses, bebas (hal V). Begitulah mungkin penulis buku ini bermaksud.
Benang Merah adalah buku pertama dari Trilogy puisi yang sedang ia kerjakan. Buku kedua berjudul Pintu Merah akan segera terbit. Dan buku ketiga yang ia rencana berjudul Ranjang Merah. Benang Merah merupakan suatu pergulatan dalam diri, dalam satu ruang kehidupan. Dan kesemuanya akan keluar, menjadi bagian dari metamormofisis, kemudian melalui Pintu Merah Sang Devi keluar dari kepompong, bergulat dengan dirinya (lagi) dan menjadi sang kupu.
Benang Merah adalah sebuah perumpamaan. Benang Merah menunjukkan satu hubungan antara satu dengan yang lainnya. Jika sederhana bisa dilihat dari hubungan laki-laki dan perempuan, antara baik dan buruk, atau antara manusia dan Tuhan. Manusia memang tidak akan lepas dengan hubungannya dengan manusia lain, dengan benda, dengan Tuhan.
Benang Merah kehidupan itu bisa lurus, bengkok, ruwet atau ‘njelimet. Benang merah kehidupan kita adalah sebuah perjalanan. Kita pernah tahu ujung pangkal, namun kita belum tahu ujung akhirnya. Ujung akhir itulah yang terus dicari manusia. Buku ini adalah sebuah proses panjang yang berkelanjutan. Ia tidak datang secara tiba-tiba dan tidak dilahirkan secara prematur. Buku ini menjadi satu kejujuran dalam memandang, menangkap, dan mengalami sendiri roda kehidupan. Sang Devi mengaku belum merasa puas untuk menulis selama dia masih bisa berpikir.
[ satu kehormatan dari pojok kecil di sebuah koran ]
by heriyanto
Menulis adalah untuk mengikat ingatan. Begitulah Sang Devi mengemukakan alasannya menulis. Sederhana. Dia sadar punya kelemahan dalam menulis. Namun seperti strategi perang Sun Tzu, untuk sukses orang harus melawan kelemahannya, melawan kekurangannya. Ketakutan manusia adalah penghalang terbesar manusia. Satu-satu jalan untuk menang: memeranginya.
Sang Devi menulis puisi sejak kecil. Dia sering ikut lomba puisi. Dan sering menang. Juga sering kalah. Namun ada momen yang membuatnya terhenyak. Ada satu kenyataan bahwa banyak orang berpuisi: membaca dan membuat puisi tanpa kemerdekaan. Berkiblat pada penyair A, atau pada penyair B. Berkiblat pada Rendra, berkiblat pada Sutarji Colsum Bahri, pada Taufik Ismail, pada Sapardi Joko Damono, atau pada sastrawan yang lain.
Kita tidak berpuisi. Namun hanya meniru. Meniru gaya, meniru ucapan, meniru intonasi. Bukankah puisi adalah sebuah ekspresi jiwa yang merdeka (?). begitu Sang Devi ingin menggugat. Mengapa harus terkungkung oleh ini dan itu, aturan ini dan itu, atau pada pakem-pakem tertentu. Devi ingin menulis puisi dengan merdeka, dengan bebas. Puisi itu singkat jujur. ‘Gak bertele-tele. Celetukan hati yang pertama. dan inilah yang Devi ingin sampaikan.
Kita merasakan kesederhanaan itu dalam puisi Ulang Tahun (hal 1): “Hepi besdey/ aku ulang tahun/ 1,2,3/ hitung lilin/ dapat kado!//”
“Aku selalu merasa selalu ada kata yang mengganjal”, kata Sang Devi. Dan yang mengganjal itu merisaukan. Dari kerisauan ini akan membentuk kata-kata. Dan kata-kata itu mewujud menjadi puisi. Buku inilah hasil dari apa yang mengganjal. Mengganjal di pikiran, di hati, dan di laku perbuatan.
Dalam antologi puisinya Devi lebih suka dengan kata AKU. Dia suka becerita lewat ke-Aku-annya. Karena dengan membaca Aku, Sang Devi merasa rileks dan menempatkan diri pada sosok si tokoh. Put yours self into someone else’s shoes. Cobalah memposisikan diri anda pada diri orang lain. Untuk merasakan empati. Merasakan si tokoh. Begitulah bila kita membaca AKU.
Selintas puisi Sang Devi mudah dicerna dan sederhana, namun bila kita kembali membaca, akan ada makna yang berbeda. Puisinya bermakna ganda. Kita bisa punya intreprestasi berbeda meskipun membaca puisi yang sama. Begitulah puisi Sang Devi. Dari situ kita belajar menghadapi kebingungan.
Puisi Sang Devi juga terkesan vulgar. Mungkin ia ingin menyampaikan kejujuran. Kepolosan. Tak ditutup-tutupi. Seperti dalam puisi Aku Kau (hal 72): “ Terpuaskan nafsu memburu/ hingga teriakkan desahan/ inginku akanmu/ tak akan pernah luntur/ inginku pelukmu/ berbagi aman/ berbagi ciummu/ bakar asmara/….”.
Seperti kata-kata dalam pengantar: kejujuran, proses, bebas (hal V). Begitulah mungkin penulis buku ini bermaksud.
Benang Merah adalah buku pertama dari Trilogy puisi yang sedang ia kerjakan. Buku kedua berjudul Pintu Merah akan segera terbit. Dan buku ketiga yang ia rencana berjudul Ranjang Merah. Benang Merah merupakan suatu pergulatan dalam diri, dalam satu ruang kehidupan. Dan kesemuanya akan keluar, menjadi bagian dari metamormofisis, kemudian melalui Pintu Merah Sang Devi keluar dari kepompong, bergulat dengan dirinya (lagi) dan menjadi sang kupu.
Benang Merah adalah sebuah perumpamaan. Benang Merah menunjukkan satu hubungan antara satu dengan yang lainnya. Jika sederhana bisa dilihat dari hubungan laki-laki dan perempuan, antara baik dan buruk, atau antara manusia dan Tuhan. Manusia memang tidak akan lepas dengan hubungannya dengan manusia lain, dengan benda, dengan Tuhan.
Benang Merah kehidupan itu bisa lurus, bengkok, ruwet atau ‘njelimet. Benang merah kehidupan kita adalah sebuah perjalanan. Kita pernah tahu ujung pangkal, namun kita belum tahu ujung akhirnya. Ujung akhir itulah yang terus dicari manusia. Buku ini adalah sebuah proses panjang yang berkelanjutan. Ia tidak datang secara tiba-tiba dan tidak dilahirkan secara prematur. Buku ini menjadi satu kejujuran dalam memandang, menangkap, dan mengalami sendiri roda kehidupan. Sang Devi mengaku belum merasa puas untuk menulis selama dia masih bisa berpikir.
[ satu kehormatan dari pojok kecil di sebuah koran ]
batu itu kepalaku
keringat bercucuran deras dan wajah basah mulai memerah
dan tubuh mulai terkulai lemas dan embusan nafas
tersengal-sengal kepanasan dan badan mulai goyah. payah.
tapi tangan berotot besar itu masih terus menggali batu yang keras.
keras. seakan tak mau bercerai. utuh.
sentuhan-sentuhan besi baja menghentak keras pada batu
dan telah coba meruntuhkan. bunga api mengembang
dari hasil perkelahian antara keras dan keras.
siang itu batu-batu cadas yang menggunung di perbukitan Malaya, berteriak.
memekik. hampir-hampir pekikan itu terdengar, namun tak kuasa.
memekik dalam diam. ku coba kembali memecah
benda hitam padat yang keras. dengan paluku.
ku ayunkan sekali, dua kali, tiga kali. tapi batu itu bergeming.
kucoba gali. tak mampu. tak ada bekasnya. ku coba lagi.
Tapi palu ku kalah dan akhirnya patah. bruk.
Duh kepalaku pecah. Parah. Darahku mengalir keras. Basah.
Mengguyur tubuh yang lemah. Teriakku kalah. Pecah.
Dan batu keras itu tertawa. Senang. Riang dalam diam. Huh!
Anganku sirna untuk kali ini.
Karena batu itu masih keras. utuh tak tersentuh.
Ku pegang kepalaku. Pecah.
untuk seorang gadis berkerudung
dan tubuh mulai terkulai lemas dan embusan nafas
tersengal-sengal kepanasan dan badan mulai goyah. payah.
tapi tangan berotot besar itu masih terus menggali batu yang keras.
keras. seakan tak mau bercerai. utuh.
sentuhan-sentuhan besi baja menghentak keras pada batu
dan telah coba meruntuhkan. bunga api mengembang
dari hasil perkelahian antara keras dan keras.
siang itu batu-batu cadas yang menggunung di perbukitan Malaya, berteriak.
memekik. hampir-hampir pekikan itu terdengar, namun tak kuasa.
memekik dalam diam. ku coba kembali memecah
benda hitam padat yang keras. dengan paluku.
ku ayunkan sekali, dua kali, tiga kali. tapi batu itu bergeming.
kucoba gali. tak mampu. tak ada bekasnya. ku coba lagi.
Tapi palu ku kalah dan akhirnya patah. bruk.
Duh kepalaku pecah. Parah. Darahku mengalir keras. Basah.
Mengguyur tubuh yang lemah. Teriakku kalah. Pecah.
Dan batu keras itu tertawa. Senang. Riang dalam diam. Huh!
Anganku sirna untuk kali ini.
Karena batu itu masih keras. utuh tak tersentuh.
Ku pegang kepalaku. Pecah.
untuk seorang gadis berkerudung
Subscribe to:
Posts (Atom)