Oleh Heriyanto
Sepekan yang lalu, masih di bulan November saya melakukan perjalanan ke Sintang. Saya sangat gembira. Ini perjalanan yang menyenangkan. Teman saya, Dedy Armayadi yang bekerja untuk People Resources Conservation and Foundation Indonesia (PRCF-I) mengundang saya ke sana untuk membantunya menjadi fasilitator kegiatan pelatihan penulisan. Ini kali kedua saya memberikan pelatihan di sana.
Tempat pelatihannya enak. Sejuk. Terletak di jalan Lembah Menyurai Sintang. Satu komplek dengan Seminari Sintang. Di sekeliling tempat itu banyak pohon-pohon besar, namun tarawat. Namanya bangsal Sebeji. Ruangannya berarsitektur sederhana, berlantai dan berdinding papan kayu. Dari dalam kita bisa memandang ke luar ruangan dengan jelas. Tidak ada meja besar atau kursi laayaknya pelatihan kebanyakan. Para peserta duduk lesehan dengan meja kecil. Suasana cair. Serius tapi santai. Saya dan Dedy menjadi fasilitatornya.
Dedy konsen melakukan pendampingan terhadap masyarakat setempat, khususnya berkenaan dengan pelestarian nilai-nilai local masyarakat adat. Dedy dan lembaga tempat ia bernaung memikirkan serius mulai terkikisnya nilai-nilai local masyarakat adat yang tergerus oleh jaman.
Selama ini nilai-nilai tradisi diajarkan oleh orang-orangtua kepada generasi mudanya melalui lisan. Namun dengan perubahan jaman dan semakin derasnya arus budaya luar lewat berbagai media, anak-anak muda semakin tidak tertarik untuk mempelajarinya. Nah disinilah kekhwatiran Dedy muncul. Bila nilai-nilai local itu —seperti acara adat, gawai, cukur rambut dan sebagainya— tak lagi diminati dan dipelajarti generasi muda, maka beberapa puluh tahun ke depan bisa diperkirakan nilai-nilai local itu akan hilang.
Suasana pada sesi materi penulisan berita straight news. Saya (tengah) sedang menjelaskan langkah-langkah penulisan berita Straight news.
Dedy pun berinisiatif untuk menyelenggarakan pelatihan penulisan nilai-nilai local di sana. Peserta pelatihannya beragam. Ada tokoh-tokoh masyarakat adat setempat, ada juga yang menjabat sebagai kepala desa dan sekretaris desa, sisanya adalah para pemuda.
Para tokoh masyarakat adalah narasumber sekaligus menjadi penulisnya. Mereka tahu banyak soal nilai-nilai local. Mereka lebih mampu menyampaikannya secara lisan, namun punya kesulitan untuk menuliskannya. Nah di dalam pelatihan itulah coba digali apa saja yang mereka ketahui yang kemudian ditulis, baik oleh peserta lain maupun ditulis sendiri. Mereka belajar menyampaikan sesuatu secara sederhana melalui tulisan.
Tentu saja bukan hal yang mudah mengajari orang menulis. Ya menulis dalam arti untuk dibaca orang-- menulis artikel, cerita dan pengalaman – dan untuk diterbitkan. Namun untuk tahap pertama, kita tidak memperhatikan bagaimana tata bahasa, struktur atau kaidah bahasa yang biasanya menjadi hal utama dalam penulisan. Tentu saja guru bahasa akan geleng-geleng kepala bila harus menilai Ejaan mereka. Namun itu bukan masalah. Apalagi mereka notabene jauh lebih tua dari saya dan bukan dari kalangan akademik. Yang terpenting mereka mampu mengeluarkan ide serta berbagai pengetahuan mereka tentang nilai-nilai local dan berani menuliskannya. Ternyata hal ini berhasil. Mereka mampu menulis berbagai macam artikel, meski jika dilihat dari aspek bahasa tidak karuan.
Dedy merangcang sebuah bulletin 2 bulanan yang berisi nilai-nilai local masyarakat adat. Diambil nama Beduruk untuk bulettin itu. Beduruk artinya gotong royong. Secara filosofis, makna kata-kata ini diterapkan juga ketika mengerjakan bulletin itu. Merakalah sumber beritanya, sekaligus penulisnya. Dari mereka untuk mereka. Sudah 16 bulan berjalan. Delapan kali terbit.
Pelatihan kali ini mereka diajarin menulis berita Staright News (berita langsung), feature, dan artikel opini. Bila selama ini Dedy yang lebih banyak menulis untuk beduruk, setelah pelatihan diharapn para peserta itu yang nantinya bisa menulis yang mirip berita Koran. Mirip saja sudah lumayan. Karena memang mereka tidak “dicetak” untuk mengungguli tulisan wartawan professional.
Selesai pelatihan saya berjalan-jalan ke desa Sungai Maram dan Ensaid Panjang, Satu jam lebih perjalanan dari kota Sintang. Kebetulan ada Hendy Candra dari Walhi Pontianak serta Yoyo dan Dinar dari Walhi Jakarta yang sengaja datang untuk meneliti soal Hama Belalang yang menyerbu desa itu setahun yang lalu. Mereka minta Dedy untuk menemani mereka. Saya diijinkan untuk ikut serta.
Saya tidak mengerti benar untuk tujuan apa penelitian mereka. Mungkin ada hubungannnya dengan persoalan perubahan iklim. Mereka ingin melihat kaitan merebaknya hama belalang di Sintang, Melawi, dan beberapa daerah di Kalbar, dengan perubahan iklim global saat ini.
Saya yang awam soal isu lingkungan tak begitu tertarik dengan penelitian mereka. Yang membuat saya gembira ketika kami pergi ke rumah betang di desa Ensaid Panjang. Ini kali pertama saya pergi sana. Selama ini hanya lewat media massa dan omongan mulut saja saya dengar tentang rumah betang ini.
Saya (kiri) bersama Dedy berfoto di depan Rumah Betang, desa Ensaid Panjang, Sintang.
Rumah betang adalah rumah tradisional masyarakat dayak. Setiap sub suku Dayak punya ciri khas rumah panjangnya. Kebetulan yang saya kunjungi itu adalah Dayak Desa. Rumahnya memang Panjang. Bukan sekedar namanya. Ada 28 kepala keluarga yang menghuni di sana. Setiap keluarga memiliki satu pintu. Jadi ada 28 pintu. ini semacam komplek perumahan masa kini. Hanya rumah betang semuanya dari kayu. Dindingnya terbuat dari kulit kayu. Tangganya dari kayu dan tiang-tiangnya juga dari kayu.
Ada hal lain yang membuat saya terkesima: di sana banyak ibu-ibu yang lihai membuat kain tenun ikat secara manual. Mereka membuat kain tenun dengan berbagai corak dan bentuk. Kainnya halus dan indah. Untuk kain yang cukup lebar dijual seharga Rp.300.000. harganya cukup mahal, karena untuk membuatnya memang butuh waktu yang lama dan rumit. Untuk satu kain bisa diselesaikan dalam waktu 3 minggu. Saya membeli satu syal yang harganya 20.000. Motifnya khas dayak. Saya senang.
Seorang ibu sedang menenun kain tenun ikat. Produksi kain tenun Ikat di Sintang sebagian besar dipasok dari desa Ensaid Panjang. Salah satu kesibukan ibu-ibu di rumah betang adalah menenun. Melestarikan tradisi sekaligus menambah penghasilan keluarga.
Sayangnya, meski dijadikan aset wisata, kondisi sarana jalan menuju ke rumah betang itu rusak. Ini tentu jadi kendala bagi mereka para wisatawan yang ingin berkunjung ke daerah itu. Kondisi rumah betangnya juga tidak terawat. Semestinya pemerintah bisa memperhatikan hal ini. Saya kira bila rumah betang itu lebih ditata dan dirawat, akan banyak orang yang berkunjung ke sana. Saya juga akan semakin senang berkunjung ke sana.**
Sebuah Catatan Dalam Ruang Sempit: Karena Kebenaran Tak Bisa Menunggu Untuk Diperjuangkan
Sunday, November 18, 2007
Friday, November 16, 2007
kartunku
Cadas
Batu yang keras
cadas
Hati yang beku
dingin
Hujan yang mengalir
lembut
Batu tersentuh hujan
Melembut dalam diam
Pelan
Membentuk rupa seirama titik hujan
datanglah hujan
hingga melembutkan
hati yang beku
datanglah yang lembut untuk mencairkan
batu yang keras
maka yang keras
ditaklukkan yang lembut
dan tersenyumlah
batu dan hati yang beku
ditaklukan hujan yang lembut
Pontianak, awal November 07
cadas
Hati yang beku
dingin
Hujan yang mengalir
lembut
Batu tersentuh hujan
Melembut dalam diam
Pelan
Membentuk rupa seirama titik hujan
datanglah hujan
hingga melembutkan
hati yang beku
datanglah yang lembut untuk mencairkan
batu yang keras
maka yang keras
ditaklukkan yang lembut
dan tersenyumlah
batu dan hati yang beku
ditaklukan hujan yang lembut
Pontianak, awal November 07
Subscribe to:
Posts (Atom)