Friday, June 29, 2007

Menakar Persepsi Masyarakat tentang Korupsi di Kepolisian

Oleh Heriyanto

Prolog
Pada pertengahan Mei lalu, media massa ramai memberitakan hasil polling1 Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional (LPS-AIR) tentang persepsi masyarakat bahwa Kepolisian adalah lembaga terkorup di Kalbar setelah DPRD, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga keuangan. Tentu saja banyak orang yang terkejut atas hasil polling ini, tak terkecuali Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Padahal selama kepemimpinan Kapolda Nanan Soekarna Polda Kalbar sedang giat-giatnya memperbaiki citra di masyarakat. Misalnya dalam hal penegakkan hukum dan pelayanan kepada masyarakat. Terakhir, Polda memulai gebrakan baru dengan penyematan Pin Anti KKN pada setiap anggota kepolisian. Namun hasil polling ini seperti mementahkan apa yang dilakukan Polda Kalbar tersebut.

Tapi siapa yang bisa menyalahkan persepsi masyarakat? Hasil polling LPS AIR justru patut dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi diri bagi institusi Polisi di Kalbar. Mengapa? Pertama, persepsi masyarakat tersebut bisa jadi merupakan representasi apa yang dipikirkan dan dipahami oleh masyarakat terhadap institusi kepolisian di Kalbar. Kedua, polling tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan polisi untuk melakukan langkah-langkah perubahan. Pandangan masyarakat menjadi bagian penting dalam perubahan institusi kepolisian, karena perubahan pandangan itu pulalah yang akan membuat kepolisian dipersepsikan dengan cara yang jauh lebih baik.

Persepsi Masyarakat
Persepsi oleh Lahry2 didefinisikan sebagai proses yang kita gunakan untuk menginterpretasikan data sensoris. Data sensoris sampai pada kita melalui lima indera kita. Ada dua jenis pengaruh dalam persepsi, yaitu pengaruh struktural dan pengaruh fungsional.

Pengaruh struktural pada persepsi berasal dari aspek-aspek fisik rangsangan yang terpapar pada kita. Aktivitas polisi, baik atau buruk, yang ada hubungan dengan masyarakat akan tersampai sebagai sebuah pesan yang diterima oleh otak. Baik bersinggungan langsung atau melalui media massa. Pesan inilah yang kemudian menjadi persepsi. Pengaruh fungsional merupakan faktor-faktor psikologis yang memengaruhi persepsi, dan karena itu membawa pula subjektivitas ke dalam proses penilaian. Keterlibatan secara emosi pada penanganan kasus-kasus yang dilakukan polisi. Misalnya saja kita contohkan saat seorang ibu-ibu yang akan berbelanja dan kemudian terkena razia di jalan raya. Karena tidak punya SIM, Si Ibu harus membayar denda. Padahal uang tersebut akan dipakai untuk berbelanja. Secara subjektif si ibu itu akan beranggapan bahwa keberadaan polisi justru menjadi ancaman.

Bagaimana persepsi terbentuk? Persepsi tentang suatu institusi, termasuk kepolisian, tidak terbentuk dalam waktu yang singkat. Persepsi terbentuk dalam proses persinggungan keseharian antara polisi dan masyarakat selama bertahun-tahun. Misalnya saja pada proses rekrutmen calon anggota kepolisian. Penelitian mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian 3 (PTIK) menyimpulkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh Polri sudah bertahun-tahun mengakar, baik di bidang operasional maupun pembinaan. Penelitian mereka di 19 kepolisian daerah (Polda) menemukan fakta: untuk menjadi polisi, seorang calon terpaksa membayar puluhan juta rupiah. Hal ini telah menjadi semacam fakta sosial di masyarakat selama bertahun-tahun.

Korupsi dalam Persepsi Masyarakat
Lantas jika masyarakat punya persepsi bahwa lembaga kepolisian itu punya potensi korupsi apakah bisa serta merta diartikan lembaga tersebut melakukan korupsi? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Karena persepsi adalah fakta sosial bukan fakta hukum. Apa yang dipersepsikan masyarakat sebagai korupsi boleh jadi berbeda dengan makna korupsi dalam undang-undang. Yang menarik dalam penyikapan atas polling LPS AIR adalah perbedaan pemaknaan apa itu korupsi.

Polda memaparkan bahwa anggaran kepolisian kecil sehingga dengan anggaran yang kecil tidak mungkin polisi melakukan korupsi. Pandangan Polda ini berpijak dari pengertian umum bahwa korupsi adalah penyelewengan uang negara sehingga menyebabkan kerugian negara. Jika pengertian umum ini yang digunakan, intitusi kepolisian merasa bahwa sama sekali tidak anggaran negara yang diselewengkan sehingga merugikan keuangan negara.

Masyarakat tidak memahami konteks korupsi secara utuh seperti dalam undang-undang. Makna korupsi di masyarakat tidak sekadar penyalahgunaan keuangan negara sehingga negara mengalami kerugian, namun menurut masyarakat korupsi adalah penyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Pungutan dalam bentuk denda razia kendaraan kendaraan bermotor misalnya, karena tidak jelas apakah masuk kas negara atau ke kocek oknum polisinya maka masyarakat akan menganggap itu sebagai bentuk penyelewengan kekuasaan. Dan itu dipersepsikan sebagai korupsi. Walaupun dengan jumlah uang yang kecil, namun bila itu terjadi terus menerus, persepsi akan makin tebal saja persepsi bahwa polisi itu korup.

Eko Prasetyo 4 dalam buku Perpolisian Masyarakat menyebutkan, di lingkungan internal polisi terdapat beberapa deretan masalah. Antara lain: pelayanan kepolisian yang masih oleh masyarakat dirasakan dipersulit, kehadiran anggota polisi yang terkesan mengancam, tingginya pelanggaran hukum dan dan etika anggota dan masih seringnya penuntutan imbalan uang seperti pemerasan, pungli, dan denda damai. Persoalan ini adalah warisan lama yang sudah mengakar kuat. Bahkan seperti yang disampaikan Direktur Eksekutif The Ridep Institute S Yunanto 5 sudah menjadi rahasia umum institusi kepolisian disebut-sebut sebagai salah satu institusi terkorup. Ada kesimpulan dari sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa dana yang bisa dipertanggungjawabkan dalam beaya opersional Polri hanya 30 persen. Sementara 70 persen lainnya disebutkan berasal dari dana-dana yang tak jelas asal-usul maupun pertanggungjawabannya. Kondisi ini yeng menyebabkan polisi memiliki citra buruk di masyarakat.

Keterlibatan oknum polisi yang sering kali 'berdamai' terhadap pengusutan dan penyelesaian kasus kejahatan dan pelanggaran hukum juga ditengarai oleh Indonesian Police Watch. Bahkan tidak sedikit oknum kepolisian yang menjadi beking tempat-tempat perjudian dengan sejumlah imbalan tertentu.

Memang persoalan korupsi menjadi momok bagi Indonesia. Sementara dalam kenyataannya, upaya-upaya pemberantasan korupsi tak juga membuahkan hasil yang memuaskan. Hal ini tidak lain, karena aparat yang seharusnya menangani kasus korupsi juga terindikasi banyak melakukan korupsi. Kasus-kasus itu dirasakan masyarakat sebagai hal yang sulit dibuktikan.

Kendati Kapoldanya punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi namun bagaimana dengan struktur kepolisian di bawahnya. Bagaimana dengan anggota-anggota kepolisian yang turun langsung di lapangan? Atau katakanlah ada tindakan perbaikan untuk melakukan perubahan, tapi bagaimana dengan pengalaman untuk melakukan perbaikan itu? Ketidakberdayaan dan tiadanya pengalaman dalam berurusan dengan korupsi di masyarakat selanjutnya dapat dimengerti melalui kurangnya pelaporan tentang kasus-kasus korupsi serta alasan-alasan untuk tidak melaporkan kasus-kasus korupsi.

Kapasitas SDM

Nanan Sukarna ketika masih menjabat sebagai Kapolda Kalbar beberapa kali menyebut adanya oknum polisi yang brengsek. Padahal secara umum, baik buruknya kinerja dan citra kepolisian memang dipengaruhi kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya. Tingkat kejujuran polisi juga dipertanyakan. Penelitian Kemitraan Bagi Tata Pemerintahan 6 di mana para responden diminta menyusun daftar 35 lembaga publik dalam hal kejujuran, mulai dari yang paling korup (nilai 1) sampai yang paling jujur (nilai 5). Polisi lalu lintas memperoleh penilaian paling rendah yaitu 2,13. Sementara media berita, kantor pos, dan organisasi keagamaan (masjid, gereja, kuil) dianggap yang paling sedikit melakukan korupsi dengan nilai 4,55. Dari sini tergambar bagaimana penilaian masyarakat terhadap kejujuran polisi masih sangat rendah.

Penerimaan anggota polisi yang masih menggunakan cara-cara korup hanya akan menciptakan polisi yang korup. Dengan menyetor sekian juta rupiah supaya bisa diterima menjadi polisi akan membuat ada semacam upaya untuk mengembalikan uang yang disetor tersebut setelah diterima menjadi anggota polisi. Jika hal ini tidak segera dihentikan maka persepsi masyarakat bahwa polisi lembaga korup akan terus ada. Maka yang bisa dilakukan ke depan adalah perbaikan sistem penerimaan dan pendidikan bagi anggota polisi.

Langkah Perubahan
Kaitan dengan persepsi, maka untuk memulihkan citra kepolisian adalah dengan membuktikan diri bahwa kepolisian layak dipercaya oleh masyarakat. Beberapa langkah bisa dilakukan:

Pertama mengedepankan Perpolisian Masyarakat. Perpolisian Masyarakat adalah suatu bentuk perpolisian yang mengutamakan hubungan baik antara kepolisian dan masyarakat setempat, mendekati pekerjaan polisi sebagai pekerjaan yang proaktif ketimbang reaktif, dan lebih mengedepankan relasi antar manusia.

Kedua, melaksanakan penegakkan hukum secara tegas tidak pandang dan bukan untuk kepentingan pribadi. Selama ini isu korupsi di tubuh polisi sering terdengar namun jarang sekali terdengar pengusutannya. Barangkali karena Kepolisian adalah istitusi yang berwenang dalam penegakan hukum dan punya wewenang yang besar, namun tidak ada lembaga yang secara khusus mengontrol institusi kepolisian. Polda Kalbar bisa membuktikan diri dengan melakukan pengusutan terhadap anggota-anggota kepolisian yang terindikasi korupsi.

Ketiga, memulai komitmen untuk Pemberantasan Korupsi. Polisi bisa bekerjasama dengan berbagai lembaga, misalnya mengadakan pelatihan investigasi korupsi.

Keempat Transparansi sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik. Kepolisian harus bisa mempertanggungjawabkan anggaran keuangan yang telah diamanatkan kepada mereka. Selain akuntabilitas keuangan, saat ini Polri merupakan institusi yang mempunyai wewenang diskresi atau kekuatan paksa fisik tetapi mempunyai kekuatan pertanggungjawaban vertikal secara hirarki yang menempatkan institusi ini sulit dikontrol publik. Situasi ini sangat berbahaya. Adanya transaparansi sehingga masyarakat bisa menjadi pengontrol kepolisian.

Sejak beberapa tahun ini terdapat berbagai upaya dari berbagai kalangan untuk membantu pembaharuan di lingkungan kepolisian. Tuntutan agar kalangan kepolisian makin transparan, memiliki pertangungjawaban publi serta menjadi kebutuhan yang besar. Dalam kaitan ini beberapa perubahan memerlukan tindak lanjut dan upaya yang berkesinambungan.

Penelitian sebagai Bahan Analisis
Kelemahan organisasi Polri saat ini adalah struktur organisasi tingkat bawah yang mempunyai kewenangan yang cukup luas namun tidak dilengkapi dengan staff yang bertugas melakukan kajian dan analisis sebagai masukan kebijakan bagi pimpinan. Padahal struktur paling bawah, misalnya Polres, bersentuhan langsung dengan masyarakat. Maka tidak heran jika kualitas kebijakan Polri pada tingkat bawah masih jauh dari yang dicita-citakan.

Polda Kalbar harus melakukan penelitian yang lebih mendalam sebagai bahan analisis dan nantinya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk membuat keputusan. Seperti yang dikatakan oleh Rusy Said 7, Dosen Hukum Untan, bila survey dilakukan dengan profesianalitas, maka data yang dihasilkan akan sangat berguna, tidak saja untuk mengembangkan tolak ukur guna mengukur perubahan yang terjadi di masa datang, tapi juga untuk menentukan apa yang salah (dalam suatu institusi seperti kepolisian).
Bila Polling diterbitkan dan disebarluaskan (lewat media massa), hasilnya dapat meningkatkan kesadaran publik mengenai korupsi. Khususnya untuk korupsi, serve dapat meningkatkan perbaikan dalam tubuh lembaga, merangsang perdebatan antara para ahli dan terfokus pada tindakan nyata.

Membantu menentukan bidang-bidang masalah dan prioritas untuk perbaikan dan memberi masyarakat suara dan memperkuat kepentingan pemilik lokal. Hasilnya dapat diberikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendorong dan memberdayakan pendapat umum sehingga ada pembaharuan atau perbaikan institusi.

Catatan Kaki
1. Polling ini adalah bagian dari program Clearing House yang mempunyai fokus melihat persepsi masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di Kalbar. Dilaksanakan di kotamadya Pontianak, Kabupaten Pontianak, Singkawang [juga Bengkayang, Sambas], Sintang, dan Ketapang. Pencupilkan dilakukan dengan metode sistematik sampling dengan jumlah sampel 380 orang. Waktu pengumpulan data secara efektif dilakukan selama 3 minggu, di bulan Maret 2006.
2. Lahry adalah ahli komunikasi yang secara spesifik meneliti tentang persepsi dan kaitannya dengan media massa. Hasil analisisnya ini terdapat dalam buku teori komunikasi yang ditulis werner J severin dan james W Tankard Jr, terbitan Kencana Jakarta: 2005
3. Penelitian ini dikutip dalam tulisan Neta S Pane berjudul Sapu Kotor Itu Bernama Polisi, (harian kompas).
4. Laporan Evaluasi Proyek Perpolisian Masyarakat tahun 2005. Ditulis oleh Eko Prasetyo dan Suparman Marzuky
5. Artikel berjudul Pekerjaan Rumah Dalam Reformasi Kepolisian di dalam Bulettin Polisi Sipil edisi 1 Mei 2005. Karena ketidakjelasan itu dana-dana itu dilabeli dengan partisipasi teman (Parman), partisipasi masyarakat (parmas), dan dan pendapatan dari aktivitas abu-abu atau criminal (parmin).
6. Laporan Akhir Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Suatu Studi Diagnostik mengenai Korupsi di Indonesia (2002)
7. Pernyataan Rusdy Said dalam diskusi antara Polda Kalbar dan LPS AIR di balai kemitraan Polda Kalbar tanggal 22 Mei 2006. Pernyataan ini adalah tanggapan atas hasil polling LPS AIR yang di sampaikan dalam diskusi tersebut.

Friday, June 15, 2007

Menanti Pers sebagai Penyelamat

Oleh Heriyanto

Ada semacam asumsi bahwa perkembangan pers berpengaruh pada kehidupan demokrasi. Kalimat ini klasik, memang. Namun sangat berarti. Sebab ada banyak harapan pers menjadi semacam penyelamat atas sesuatu yang sudah buruk.

Bulan Agustus 1974 Presiden Richard Nixon mengundurkan diri setelah dua wartawan Washington Post Bob Woodward dan Carl Bernstein membongkar kasus Watergate di mana Nixon terlibat di dalamnya. Publik Amerika geger. Presiden ke 37 AS yang malang itu lengser dari jabatannya sebagai presiden, bukan karena demonstrasi atau impeachmen parlemen, melainkan karena laporan pers. Suatu yang buruk telah terselamatkan. Saya tahu kisah ini setelah menonton film All The President's Men yang secara rinci cerita soal skandal Watergate.

Pers Indonesia pasca Orde Baru memeroleh kebebasannya: sesuatu yang berbeda dibanding masa orde baru di mana pers terkungkung ancaman sensor dan bredel. Kini pers berkembang pesat. Ratusan media tumbuh. Pers berani mengkritisi kebijakan pemerintah tanpa rasa takut. Walau tentu saja belum sekaliber terbongkarnya skandal Watergate. Dulu wartawan Indonesia bisa sewaktu-waktu terancam penjara bila berita yang ditulis dianggap menentang pemerintah. Kini mereka berani membuat berita yang pada masa orde baru sangat sensitif sekalipun.

Bukankah kini memilih berita layaknya memilih makanan? Berbagai pilihan disuguhkan. Kita bebas memilih berita kuliner sampai berita soal politik atau kriminal. Kita bisa baca berita yang ditulis secara lembut sampai yang ditulis keras dan pedas. Sarapan pagi kita ditemani berita soal korupsi, ilegalloging, sampai pembunuhan.

Pers Indonesia berkembang, benarkah ini sekaligus menandakan makin berkualitasnya kehidupan demokrasi di Indonesia? Dan bila kita yakin tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, apakah peningkatan kuantitas berita membawa implikasi makin meningkatnya kesejahteraan rakyat?

Semestinya iya. Tapi bisa juga tidak. Saya hendak mengatakan, kebebasan pers ini idealnya membawa perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja misalnya perbaikan kesejahteraan rakyat. Namun bicara sesuatu yang ideal akan menyerempet utopia: mimpi. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan yang diharapkan itu mungkin saja hanya sekadar mimpi.

Ada pernyataan, jurnalisme hadir bersama tujuannya. Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme menyebut tujuan jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri mereka sendiri. Menurut Kovach manusia membutuhkan berita karena naluri dasar-- yang disebut sebagai naluri kesadaran. Dengan informasi itu manusia tahu dunia luar.

Orang bebas tahu siapa yang layak untuk jadi gubernurnya: siapa yang pahlawan dan siapa yang penjahat. Orang perlu tahu amankah daerah yang ia tempati dan apa saja potensi-potensi yang bisa dikembangkan. Orang perlu tahu kebijakan-kebijakan pemerintah, juga butuh informasi bencana alam atau sekadar berita tentang harga minyak goreng. Orang juga perlu dapatkan informasi soal pendidikan, lapangan pekerjaan, atau soal kecil macam tempat wisata yang menarik.

Pengetahuan itu memberi rasa aman, membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Bila rakyat mampu memberdayakan diri mereka kesejahteraan hidup bisa ditingkatkan. Merdeka dan bisa mengatur diri sendiri secara bebas itulah inti demokrasi. Dalam negara yang otoriter kemerdekaan dan kebebasan sangat sulit didapat. Pada titik inilah sesungguhnya peran media dibuktikan. Dan asumsi kita terjawab meski masih menyisakan sedikit ragu.

Ini sisi keraguan itu: meski sudah mendapatkan kebebasannya, seringkali media di Indonesia lupa bahwa mereka bertanggung jawab pada publik. Media terjebak pada korporasi yang tujuannya semata keuntungan dan melupakan untuk apa mereka hadir.

Sebagian media mungkin tidak dekat dengan rakyat kecil. Sebagian lain mungkin lebih dekat dengan penguasa dan sibuk melayani pemerintah ketimbang mereka yang diperintah (warga). Bila hal ini yang lebih dominan, maka satu kesimpulan soal utopia tadi menjadi kenyataan. Bahwa media memang tak mampu berperan dalam membangun demokrasi apalagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dan orang boleh menggugat: pers ada tetapi mengapa pada kenyataannya masih banyak rakyat yang belum terberdayakan dan masih banyak pula yang belum sejahtera; mengapa korupsi makin banyak; mengapa pula masih banyak rakyat yang termarjinalkan?

Padahal media tidak seperti perusahaan tahu, krupuk, atau rokok yang tujuan utamanya keuntungan. Media adalah sebuah institusi yang punya tanggungjawab untuk mencerdaskan publik, memberikan informasi yang bergizi, dan sekali-kali menjadi watchdog pemerintah. Mata hati pers pada nurani. Seperti memilih makanan, media semestinya memberikan pilihan-pilihan yang dibutuhkan dalam mengembangkan potensi warga: mencerdaskan sekaligus memberdayakan.

Tapi kita perlu realistis bahwa Pers Indonesia belum lama menikmati kebebasannya. Dan bisa jadi ancaman-ancaman pada kebebasan pers masih mengintai di kemudian hari. Seperti yang pernah dikatakan Sindhunata, melahirkan demokrasi sama sakitnya seperti melahirkan bayi. Mungkin sama sakitnya bagi pers dalam membangun demokrasi.